Thursday, November 26, 2015

Sungguh engkau hidup dalam kalbuku...Dan disana disisi Maha Cinta....

Sungguh engkau hidup dalam kalbuku...Dan disana disisi Maha Cinta....

Lama pikiran untuk menuliskan tentang kematian—sesungguhnya kehidupan juga—ada dalam benakku. Entah kenapa setiap mau menulis ada yang terasa berat, saat ini aku tekadkan menulis, dipicu oleh kejadian wafatnya teman beberapa waktu lalu, dan istrinya juga temanku. Membuatku merenung lagi tentang kematian.

Tak ada yang pernah siap untuk ditinggalkan orang terkasih, apakah pasangan hidup, orang tua, anak, dsb., tetap saja semua datang tiba-tiba, mengejutkan dan meluluh lantakkan hati. Sejujurnya aku turut menangis membayangkan sedihnya temanku yang kehilangan suaminya, merasa malu karena tak bisa membantu, menghibur, entahlah apa kata-kata bisa membantu. Aku sendiri tak sanggup membayangkan jika itu terjadi padaku. Hanya doa-doa yang mampu aku panjatkan kelangitNya.

Kehilangan Ibu sembilan bulan lalu, merupakan kesedihan terdalam dalam hidupku. Pernah aku kehilangan 2 nenek, (2 kakek sudah tiada, gak pernah jumpa), dan saudara-saudara lain, tapi waktu itu aku masih kecil, tak begitu dalam memaknai kematian. Deraan kedua yang pedih adalah waktu tsunami, ketika menyaksikan ‘kiamat’ kecil yang tak sanggup digambarkan kata-kata...

Kematian begitu menyentak kesadaran yang  membuatku banyak berfikir, berfikir, berfikir...tafakur, tadabur, dan mengevaluasi segala hal yang sudah berlalu dalam hidupku. Hal utama yang aku rasakan betapa waktu  berlalu tak terasa. Aku masih punya rencana-rencana buat beliau, sebagiannya sudah kuutarakan, mengajak beliau tinggal bersamaku, tapi kehendak Allah berlaku. Bukankah Dia yang Haq? Kita hanya bisa punya rencana, belum sempat rasanya membahagiakan beliau, Allah sudah memanggilnya.

Kematian begitu menyentak akan kesadaran betapa singkatnya waktu kita singgah di dunia, sungguh hanya persinggahan sementara. Persinggahan yang melenakan, sampai lupa tujuan hidup sebenarnya. Begitu banyak yang ingin diperbaiki dari diri, dan kita tak pernah tahu berapa waktu tersisa. Juga memperbaiki cara mengelola rumah  tangga, mendidik anak-anak, dsb., mau jadi apa mereka, sudah benarkah cara dan jalan yang ku (kami) tempuh selama ini? Mampukah kuraih jalan cinta, yang kan berakhir indah?

Dan waktu jualah yang bisa mengobati luka hati karena kehilangan orang yang kita cintai. Apapun saran bisa kita terima, tapi luka tetap membutuhkan waktu untuk sembuh. Sabar, ikhlas, memang kuncinya, namun tak semudah mengucapkannya.  Awal-awal kematian begitu menyentak diri, selain tafakur dan tadabur, aku banyak baca buku-buku, search di google tentang alam barzakh, kemana, dimana jasad manusia berada menurut Islam, dsb. Ada yang kuingat ketika seorang temanku, datang melayat, dia begitu siap akan masa depan. Aku terkaget, plus kagum waktu dia bercerita dia bahkan sudah siapkan kafan dan kain panjang di rumahnya, sudah berpesan-pesan pada anak-anaknya. Betapa sebenarnya itu tindakan paling logis yang seharusnya kita lakukan? Sejak kecil kita mungkin sudah tahu  dari guru agama bahwa yang paling dekat dengan kita adalah kematian. Lalu mengapa takut membicarakannya dan mempersiapkannya? Aku sendiri merasa lalai dan abai...

Kemudian yang juga sangat kuingat adalah saat Amai dan Mamakku berkata, “Anggaplah Ibu masih hidup bersama kita, seperti yang kami lakukan untuk Andi.” Andi adalah anak Mamakku (Oom) yang sudah wafat di usia muda.

Membaca banyak referensi, akupun akhirnya sampai pada pemahaman, bahwa beliau, Ibu yang aku cintai masih hidup di sana, di suatu tempat indah disisiNya, di Barzakh, dan tentunya di hati orang-orang yang mencintainya. Ini bisa mengurangi kesedihan, sekarang lebih kepada keikhlasan dan mengirim doa-doa untuk beliau. Semoga Allah memudahkan aku juga bisa mengirim kebaikan. Semoga engkau perkenankan segala doa-doa untuk beliau Ya Rabb... Maha Cinta.


PondokCinta Darussalam, 26 November 2015

PadaMu

Satu 

Aku berhenti pada batas
terdiam merenung
kemana arah langkah

Aku tak tunduk pada rasa
juga tak mengandalkan hanya logika 
limbung menyeimbang gamang
menyebut-nyebut namaMu

Hasrat merayu
aku kelu
demi secercah cahayaMu, 
aku tunduk
menghamba


Dua 

Getar, gemetar berbaur
amarah, sayang berimbang
aku belajar memahami diri, kemanusiaan 
dia, aku, mereka

Ya Rahman, Ya Rahim,
bebaskan ku dari letup
degup jantung
api dendam
benci membara

PadaMu yang jiwaku dalam genggamanMu
aku serahkan segala ruh segala tubuh

pada sepertiga malamMu ya Qudus, jauhkan aku dari hal yang mempersingkat jarak 
antara Engkau dan aku


RumahCinta, February 17, 2010

Wednesday, November 25, 2015

Pulang

Satu

Kali ini pulangku yang kesekian

usai perjalanan, lelah, hati berdarah

didera luka kerna tualang

gamang, menimbang langkah

resah gundah gulana kubawa

kepadaNya jua kembali jiwa

Tak jera kelana kuarung jauh

hanyut dalam aliran takdir

yang kadang tak kumengerti dalam kesempitan pikir

pulangku kembali dalam zikirku kan kasih, damai terindah

di haribaanMu, Sang Pemurah

Hampir mendekat langkah sudah

kucium wangi kembang di gerbang

sungguh serasa seluruh ruhku bangkit kembali

memacak gairah di jantung, mengukir senyum

terbang segala bimbang, gamang pergi

Pada sajadah baur segala isak

tumpah segala rasa, ruah segala rindu

lega beruparupa dahaga

haus jiwa, kupuaskan, mencoba meraih cahaya

Engkau Sang Cinta

dekaplah, dalam setiap helaan nafas, tak ingin kuberakhir

senantiasa rindu menderu-deru

tak ingin lepas sedetikpun waktu.

Dua

Kembara

kemanapun langkah

mencari arah

merambah belantara

mencapai gunung

menyeberangi samudera

langlang buana

ke mayapada

diri kembali kedalamku

menyadari adaMu

di sini. di setiap inti sel tubuh

memagut utuh ruhku

jiwa kembali padaMu semata

tubuh luluh pada penghambaan

fitrah al-insan.

RumahCinta, Ayahanda Medan, 17 Januari 2010

Sajak yang diam sungguh tak diam

sajak
lama tersimpan
beriak terpendam
diam

kadang kata mesti dibiar tak bersuara, tak berupa
biar bertapa di dalam
meredam rasarasa
meredam barabara
mendiamkan gejolak amarah
kembara ke semesta
kelana mengarung mayapada
melarung luas samudera

mengendapkan kotoran
hingga tertinggal bening
dan hening
yang tak diam
bicara sungguh ia
dengan Sang Pencipta kalam

RumahCinta, 9 January 2011


Sang Indah


Sunyi bersamaMu begitu indah, Kekasih

ingin kusimpan sendiri tak berbagi

namun cintaMu luas tak berbatas

Insan merintih, mengadu segala sesak, segala tangis,

isak bermuara padaMu semata

tertatih meraih Cahaya cinta


Bahkan dalam sesat jalan masih kami, mereka teriakkan namaMu,

kubayangkan Kau senyum saja


Ampuni kezaliman, kebodohan, luluh aku di altar penghambaan

Izinkan kunikmati indah rasa tak terperi

tak mampu kuwujud walau hanya dalam mimpi

RuangBiru, 26 Nov '09  


***Posting ulang puisi lama yang belum sempat di dokumentasi. 

Tuesday, November 24, 2015

Kejujuran menulis, menuliskan kejujuran

Kejujuran menulis, menuliskan kejujuran

RE-POST TULISAN LAMA

Pikiran ini hadir ketika bertualang di dunia cyber, dan ngobrol dengan sahabatku mengenai banyaknya orang yang tak peduli dengan etika mengambil tulisan orang lain di internet. Aku menemukan banyak hal yang membuatku kadang tersenyum-senyum sendiri. Berbagai ekspresi, informasi dan berita apapun ada di dunia maya ini, tinggal kita mau memilih dan memilah yang mana mau dilihat, dipakai atau dipercaya. 

Ada yang menimbulkan tanda tanya di benakku tentang kejujuran dalam menulis. Benarkah paranetter, blogger, facebookers,’buku-ers’ apapun sebutannya, telah menulis dengan jujur apa-apa yang diceritakannya tersebut? Jawabnya pastilah relatif ya, tergantung orangnya dan kejujurannya. Aku menemukan puisi temanku di copy paste utuh, (sudah lama), dan tak ada penyebutan nama sumber. Waktu kutanya pada temanku, katanya, “biar sajalah, aku bukan siapa-siapa, berarti ada yang suka tulisanku senang saja.” Itu bagi orang yang memang tidak mempermasalahkannya, tapi bagaimana kalau yang bersangkutan tidak suka dan merasa dirugikan karena hak ciptanya di langgar (walau tak terdaftar)? 

Ada juga yang dengan bangga mengutip lirik lagu dan memasukkannya di sela-sela tulisannya tanpa menyebut sumber, atau mengutip baris-baris kata di buku, tanpa malu-malu. Dan turut bangga ketika pembacanya berkomentar dan memuji dia sebagai penulis hebat misalnya; “Waahh kamu emang piawai ya menulis, waah kau benar-benar pujangga!” Tak ada penjelasan dari yang dipuji, larut dalam kebanggan palsu. Itu berlaku juga terhadap hasil cipta yang lain, misalnya foto dan musik (lagu).

Ada penulis yang memanfaatkan orang lain dengan memakai hasil survei, riset atau wawancara yang dilakukan orang lain untuknya. Ini kudapatkan dari berbincang dengan seorang teman Dosen. Sayangnya tak banyak yang mau mengakui bantuan orang lain tersebut dengan menulis sesuai etika kutipan, apalagi kalau yang karyanya dimanfaatkan hanyalah orang-orang tak berdaya misalnya ’penulis bukan siapa-siapa’, ataupun mahasiswa binaan.

Memang sih sekarang ada UU ITE yang masih kontroversial itu, yang bisa saja digunakan sesuai kepentingan masing-masing orang. Begitulah yang kulihat fenomena penegakan hukum di negeri ini. Namun menciplak, mencuri utuh ataupun sebagian tulisan seseorang (plagiat) bukankah hal memalukan? 

“Jadi kalau seseorang menulis fiksi nggak jujur begitu?” tanya seorang temanku.

Jujur yang kumaksudkan adalah asli karya kita sendiri, kalaupun ada kutipan yang perlu dari suatu sumber, tentulah dengan menyebutkan sumbernya.

“Fiksi itu adalah jenis tulisan teman, ” kataku. Fiksi bukan berarti bohong, fiksi adalah kelebihan manusia dengan daya imajinasinya yang tidak dimiliki makhluk lain, justru media berekspresi yang membebaskan manusia bisa menjadi apa saja yang diinginkannya. Walau fiksi jenis apapun pasti dilatarbelakangi oleh keberadaan si penulis sendiri yakni, pengetahuannya, pandangan hidup, pengalaman, daya khayal, impian, dsb. Namun aku setuju kebebasan manusia adalah kebebasan terbatas yang tidak boleh melanggar hak makhluk lain.”

“Maksud kamu?” 

“Ada orang yang berteriak-teriak tentang kebebasan menulis, tapi dia lupa tulisannya melanggar hak-hak orang lain. Seberapa jauh pelanggarannya tentunya hukum yang menentukan, namun selain hukum formal ada etika, ada rasa, ada nurani,” kataku sok filosofi. 

“Manusia itu,” lanjutku, “mesti dibatasi aturan, itulah hukum Sang Pencipta, sebab DIA yang tahu bagaimana kondisi-situasi makhluk ciptaanNya. Dengan kemampuan kemanusiaan yang terbatas, manusia bablas kalau tak dibatasi. Lha ada dinding saja kita sudah nggak bisa melihat apa-apa, bagaimana bisa memiliki kebebasan mutlak?” 

Ada yang mengidentikkan menuliskan kejujuran adalah menulis tanpa batasan. Aku tak setuju. Jujur taklah sama dengan terbuka, bagiku di dunia ini ada hal-hal yang tidak boleh dituliskan, yakni aurat diri, rumah tangga, orang lain apalagi aib. Justru itulah sekarang yang banyak dituliskan dan dijual orang dengan bangga. Bagiku, sebagai muslim upaya untuk hati-hati ’melepas’ setiap kata saat ini begitu terasa. Entahlah mungkin karena aku semakin tua, sebab kupercaya kata adalah doa, kata menyerap ke ruh, tubuh, pikiran, mengirimkan efek energi ke semesta, ke udara yang kita hirup, air yang kita minum, bumi yang kita pijak, ke energi yang menyelimuti komputer yang kita pakai misalnya...kemudian akan mencapai kehendak-kehendak dalam diri, yang pastinya seizin Sang Pemilik Kehendak.

”Itu mirip-mirip yang ditulis buku The Secret ya?” tanyanya lagi..

”Sebagiannya disitu sobat, sebagian besar ada di Al-Quran, buku-buku pencerahan, terakhir yang aku baca buku-bukunya Ustadz Yusuf Mansyur, lalu juga penelitian-penelitian ilmiah misalnya ”The True Power of Water”-nya Masaru Emoto, kisah-kisah Sufi, dsb. Dari kisah-kisah Nabi dulu, diajarkan bahwa semesta bertasbih kepada yang Kuasa. Sebab itu, jangan sembarangan melepas, menulis kata-kata makian atau kutukan...Akan beredar energi negatif yang banyak disekitar kita. Kalaupun ada yang ingin disampaikan sebagai kritik, lakukan dengan santun dan tertutup. Mungkin itu lebih baik. Bisa saja Indonesia jadi begini karena begitu banyak hujatan terlontar ke semesta, pastinya di negeri tercinta ini oleh rakyatnya sendiri.”


Pikiran-pikiran spiritual serupa di atas begitu banyak mempengaruhi diri seiring berkurangnya jatah hidup (bilang aja tua gitu hehe!), aku jadi terlalu banyak berpikir bahkan sekedar meng-uploadtulisanku di blog—atau mengisi status di facebook—jadi jarang. Padahal aku banyak sekali menulis. Selalu menulis, seminimalnya mencurahkan keresahan jiwa, menuju lega. Sebab aku tak mau melepas tulisan yang hanya akan jadi tulisan sampah saja (setidaknya menurutku sendiri). Apalagi tulisan yang akan membawa dosa bagi diri, apalagi bagi orang lain (emangnya selama hidup belum cukup banyak dosa?). Sebenarnya lebih sebuah kritik diri, selama ini aku masih suka jutek dan bisa berkata-kata tajam bak rencong, justru beraninya ke orang-orang terdekatku, atau pada kondisi toleransi diri sudah habis jika diperlakukan tidak adil. Inipun perlu kupertimbangkan lagi. 

Sampai dimanapun kemampuan kita, menulis dengan jujur sangat penting menurutku, sebagai upaya memperbaiki diri. Akhirnya memang semua dikembalikan ke nurani kita masing-masing, sebab jujur itu tak pernah ketinggalan zaman, selalu bersih dan disukai.



RumahCinta, Ayahanda Medan, 23 Januari 2010

Saturday, November 7, 2015

Mencari orang baik

Mencari orang baik

Sempat ngedumel sama mahasiswi yang berkendara sepeda motor melawan arah hampir menabrakku pagi ini, dia cuek aja. Hal-hal yang sangat-sangat biasa dalam keseharian orang Indonesia ini mungkin. Dianggap kecil. Benarkah kecil? Padahal bisa menghilangkan nyawa orang lo! Banyak berita tentang betapa kacaunya lalu lintas kita, pemakai jalan yang tidak disiplin, kurang toleransi, tiada simpati apalagi empati.

Dulu, kalau boncengan sepeda motor atau abang (suamiku) nyetir, dan ada orang-orang yang sembarangan nyalib dsb, pasti aku teriakin hehe...Kalau si abang memang orangnya cool dan sabar, jadi jarang marahin orang. Beberapa tahun belakangan, aku udah nggak teriakin mereka lagi, percuma, sekalian belajar sabar.

Mengamati para pengendara sepanjang hidupku, memang kondisi jalanan yang semrawut bisa menaikan temperatur kepala kali ya...Baik itu teman, kenalan, saudara, rata-rata pada ngedumel kalau nyetir. Aku sih biasanya jadi penumpang saja dan sok-sok jadi pengamat. Kadang ada yang ngomelnya parah banget sampai memaki-maki, astagfirullah...Bahkan sahabatku yang terkenal pendiampun, kalau nyetir jadi bisa ngomel. Dari pengalamanku yang paling cool itu nyetirnya adalah sahabatku sang musisi ini, yang baik hati antar jemput aku waktu pulang kampung kemarin. Nggak pernah ngedumel dan tenang banget.

Kalau ke Medan dan pergi dengan adikku yang nyetir, juga sering kita mendiskusikan betapa kacaunya kondisi lalu lintas di sana. Sulit sekali mencari orang yang baik di jalanan, yang mau bertoleransi dan bersikap disiplin di jalan raya. Sebagian besar mengedepankan ego. Sepertinya sama saja dengan di Banda Aceh sini, di Padang, di Jakarta, dan tempat-tempat lain di negeri ini (dari yang aku alami dan info media). Sedihnya lagi kata adikku, kalau ada kecelakaan orang-orang malah tega berselfie-selfie ria di dekat lokasi, tanpa sedikitpun empati terhadap korban. Dia melihat sendiri. Begitu juga kalau ada musibah lainnya seperti kebakaran, yang mereka lakukan selfie! Jadi ingat waktu tsunami, ketika berhasil nyebrang dari Sabang hari keempat pasca tsunami, aku mendapati “kiamat” mulai dari pelabuhan Malahayati sampai Darussalam, kehancuran luar biasa, mayat-mayat. Terlintas ingin memotret, tapi hatiku dan mataku tak sanggup melakukannya, hanya diam, nangis di dalam. Memang nggak berbakat jadi jurnalis kali ya...

Begitu juga kalau kita berada di tempat-tempat umum, yang sangat menjadi concern-ku adalah sampah. Bahkan di halaman Mesjid Rayapun banyak yang seenaknya buang sampah. Kalau olah raga pagi/sore sekeliling kampus Universitas Syiah Kuala-Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, sampahlah yang sangat mengganggu. Mahasiswa/i yang duduk-duduk nyantai di pinggir lapangan seenaknya buang sampah sembarangan. Pernah aku tegur baik-baik, mukanya masam. Sama saja dengan yang merokok di tempat-tempat/kendaraan umum, kalau diingatkan malah balik memelototi kita.

Belum lagi toleransi ‘kecil’ seperti ngantri dengan teratur, menolong orangtua, Ibu hamil, anak-anak dsb., yang kesulitan di jalanan, jarang banget.

Lalu, betulkah nggak ada lagi orang baik di negeri ini? Masih, memang masih ada orang-orang yang peduli, tapi itu keajaiban, dan jumlahnya sedikit? Pertanyaan itu yang muncul di benakku setiap kali kesal dengan orang-orang tak peduli di sekitar kita.

Namun didalam kalbu aku yakin, masih banyak orang-orang yang baik kok, apalagi kalo dipikir saat hati tenang, selama ini, ketika ada musibah atau kesulitan masih banyak yang menolong. Rata-rata sih yang memang kita kenal dekat. Sulit mencari orang yang mau menolong tulus, orang yang tidak dikenalnya.

Lalu? Sebuah jawaban telak mestinya menghujam diri kita sendiri. Sudahkah kita (diri sendiri) baik? Peduli, simpati, empati? Jangan-jangan kita (aku) juga tidak baik.

Catatan Pagi, PondokCinta Darussalam, 5 November 2015.

Terdera As-Syu’ara'


Terdera As-Syu’ara'

Pernah beberapa tahun aku tidak menulis, kalaupun ada, sangat sedikit sekali dan tidak aku upload di blog maupun di Note Facebook. Ada teman-teman bertanya kenapa nggak menulis lagi. Jawabku ya karena sibuk dengan parasaian iduik (suka duka kehidupan)--gak tau sinonim dalam bahasa Indonesia apa ya? Kadang jadi malas keterusan, karena fokusku berpindah. Padahal dulu, saat sangat sibuk baik di kantor maupun di rumah, aku malah banyak menulis, memanfaatkan sela-sela waktu luang yang sempit. Semakin sibuk, semakin banyak pikiran di kepala, semakin banyak yang ingin aku tumpahkan di tulisan. Ya itu seperti yang sering aku tulis, bagiku nulis utamanya detoksifikasi. Mudah-mudahan juga bisa bermanfat untuk orang lain.

Tapi ada alasan yang tidak kukatakan pada teman, yaitu perasaan bahwa tulisan-tulisan itu useless semua. Begitulah, aku terperangah ketika suatu hari membaca entah dimana (maaf lupa penulisnya), bahwa apapun pekerjaan/karya kita termasuk tulisan  tentu akan  kita pertanggungjawabkan nanti kepada Allah, apalagi itu kalau membuat dosa. Royalti kita akan dibayar nanti di neraka, mau?

Aku benar-benar tersentak, dulu aku sempat kagum kepada beberapa penulis perempuan yang punya gaya bahasa yang sangat-sangat gaya, sangat nyastra, berani, menggugah gairah, kadang-kadang malah kebablasan dan  kasar. Aku setuju-setuju saja kepada pujian yang ditujukan kepada mereka oleh beberapa ulasan di media bahwa itulah gaya yang paling top untuk penulis, yakni bebas tak berbatas. Bahkan mereka ada yang dapat penghargaan sastra. Oh aku benar-benar pemuja sastra itu! Eh dulu.

Maaf untuk penulisnya—tentu nggak etis kalau ditulis namanya--kalau kukatakan kemudian aku menganggap tulisan-tulisan itu sampah, lebih sebagai racun tak berguna yang tak bisa didaur ulang, walau dimana-mana orang memuja-muja tulisan mereka. Sebagai pencinta lingkungan, aku tidak membenci sampah kalau masih bisa didaur ulang, begitu juga dengan ‘sampah kepala’ yang bisa buat pelajaran hidup.

Aku berhenti membaca  bacaan-bacaan semacam dan menggantinya dengan bacaan-bacaan yang insya Allah bisa menuntun kita menjadi lebih baik. Amin. Hanya  upayaku, bukan sok alim. Apalagi kemudian ketika tafakur dan tadabur ditampar kesadaran pada syurat As-Syu’ara' 224-227’:

224
وَالشُّعَرَاء يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.

225
أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ
Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah,

226
وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ
dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?

227
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ
kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.

*Ayat 225, maksudnya mengembara di lembah-lembah ialah bahwa sebagian penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan dan pendirian tertentu yang baik.

Sebelumnya aku nggak begitu berani mengutip-ngutip ayat, tapi demi  belajar, aku copas suratnya di sini, semoga dijauhkan dari sok tahu dan ria.

Belum lagi kalau dipikir-pikir, kadang dalam tulisan ada kebanggaan-kebanggaan tersembunyi yang ingin kita pamerkan, bagaimana kalau ternyata itu hanya wujud kesombongan semata? Begitu juga dengan meng-upload foto-foto di media sosial, aku selalu dihantui pertanyaan; apakah itu suatu pamer-pamer yang berujung ujub ya Rabb? Menulis tanpa sombong, aku banyak belajar dari tulisan sohibku di Rumah Kayu, Dee dan Fary, yang menurutku, kalau mereka mau, banyak yang bisa dibanggakan dari kehidupan mereka, tapi mereka tak melakukannya.

Demikian juga dengan hobiku mendengar musik, aku mulai memilah-milah yang mana sebaiknya di dengar agar tak jatuh ke dalam mendengar yang haram, ada perbedaan pendapat ulama mengenai halal haramnya musik, bagi aku memilih yang tidak bertentangan dengan hukum-hukumNya. Siapa bilang musik yang menyebabkan orang jadi berjoged-joged mesum itu musik yang baik? Atau teler kaya I-Doser ini? Al-Imam Gazali salah seorang Imam yang membolehkan mendengar musik-musik yang baik (Ringkasan Ihya’ Ulumuddin hal. 194-199).

Dengan menuliskan ini hanya untuk mengingatkan diriku, bukan untuk menghujat-hujat orang lain.  Agar on the right track  always. Selalu berada di Jalan cintaNya yang kadang berliku, terjal dan tajam, namun untuk keindahan akhir tiada tara...

PondokCinta Darussalam, 5 November 2015




About Me

My photo
Welcome to my Blog.... Mom, kids lover, nature lover, Islam and peace lover, like to read, write, travel. Darussalam, Banda Aceh. Indonesia.