Monday, September 19, 2016

Sastra yang melembutkan hati, keseimbangan jiwa dan Andrea Hirata.


Kuberitahu satu rahasia padamu, Kawan
Buah paling manis dari berani bermimpi
Adalah kejadian-kejadian menakjubkan
Dari perjalanan menggapainya

(Andrea Hirata--Maryamah Karpov)



Minggu lalu nonton ulang Film Laskar Pelangi di TV, jadi rindu baca novel. Lamaaa banget aku gak baca-baca novel lagi. Kalau baca macam-macam sih harus setiap hari, membaca bagiku adalah kebutuhan dan relaksasi.

Sejak kecil aku kegilaan membaca novel, mungkin sudah ratusan novel dalam dan luar negeri yang aku baca. Baca novel, khususnya sastra, sesuatu banget bagiku. Kalau kata temanku sastra itu melembutkan hati. Jadilah aku baca ulang lagi novel Laskar Pelangi, baru Buku ke-1 sih ya, dan nggak seperti dulu aku bisa menamatkan satu novel setebal 500 halaman lebih hanya satu hari...sekarang belum separuh sejak beberapa hari lalu, waktunya sempit, mataku juga nggak tahan lagi lama-lama memelototi huruf.

Kalau baca tulisannya Andrea Hirata, rasanya tak mau melewatkan satu hurufpun, menurutku, dia satu-satunya penulis Indonesia yang paling ajaib cara menulisnya, bisa bikin ketawa sendiri, haru-biru, puitis, romantis, kadang diam-diam sabak mataku. Setiap kata adalah makna yang berharga...wuih segitunyaaa. Memang aku ngefans berat pada caranya menulis, kelihatan kalau penulis ini cerdas dan punya pengetahuan yang luas plus rasa sastra yang tinggi. Walaupun pada keterangan di novelnya disebut dengan “Cultural Literary Non-fiction”, entahlah kenapa disebut begitu.  

Aku sering mengingatkan anak-anakku agar mau membaca novel dan/atau karya sastra yang bermutu, ketiga anakku malas membaca novel, sukanya baca komik, nge-game dan nonton film. Walaupun mereka baca novel klasik (pengertiannya yang dicetak, bukan e-book), nggak tamat-tamat tuh bacanya. Kalau kata si Sulung zamannya sudah beda, anak-anak sekarang bukunya e-book, electronic book. Baca-bacanya di gadget. “Lha mama juga tau kaleee,” kataku. Walaupun kalian berasal dari Generasi Z dan mama dari Generasi X, gak ketinggalanlah. Malah kami lebih beruntung dapat menikmati sekaligus perkembangan teknologi mulai dari TV hitam putih, kamera yang pakai film, mesin ketik yang kalian tidak mengenalnya, dsb yang kuno-kuno. Sedangkan kami beruntung  juga bisa menikmati era digital, cyber, internet sekarang ini.  Baca karya fiksi itu nak, kataku, mengembangkan imajinasi lebih daripada nonton, beda dengan nonton film, ada efek “buzz” ke adrenalin dan hormon endorfin, serotoninmu,dsb.

Kalau dari novel-novelnya Andrea Hirata, aku merasakan sekali indahnya petualangan di alam, ini yang sering aku “hasut-hasutkan” kepada anak-anakku, hiduplah dengan seimbang nak, antara dunia digital dan alam sekitar yang indah, menenangkan batin. Aku mau mereka mencintai alam, seperti ortu-nya ini yang betah sekali di hutan rimba ataupun kampung-kampung yang sepi. Mengingatkan akan yang empunya alam, Allah Sang Maha Indah.

Intinya, hidup itu harus seimbang, jangan tenggelam dengan teknologi digital saja, bacalah juga karya-karya sastra bermutu,  yang belum ada e-booknya di perpustakaan konvensional, atau darimanalah. Walaupun buku memerlukan pohon untuk membuatnya, buku-buku bermutu menyumbang banyak untuk perbaikan generasi. Ilmu coy, ilmu! Bukankah ilmu menggairahkan? Buku juga memperkaya jiwa. Jadi nggak sia-sia pohon mengorbankan dirinya.

Untuk anak-anak Mama tercinta;
Bang Ufi, Bang Uqan, Adek Naysa serta Pencinta Sastra & Alam.

PondokCinta Darussalam, 21 September 2016
Tulisan lamaku tentang Andrea:
http://putirenobaiak.blogspot.co.id/2008/09/andrea.html

No comments:

About Me

My photo
Welcome to my Blog.... Mom, kids lover, nature lover, Islam and peace lover, like to read, write, travel. Darussalam, Banda Aceh. Indonesia.