Sungguh
engkau hidup dalam kalbuku...Dan disana disisi Maha Cinta....
Lama pikiran untuk
menuliskan tentang kematian—sesungguhnya kehidupan juga—ada dalam benakku.
Entah kenapa setiap mau menulis ada yang terasa berat, saat ini aku tekadkan
menulis, dipicu oleh kejadian wafatnya teman beberapa waktu lalu, dan istrinya
juga temanku. Membuatku merenung lagi tentang kematian.
Tak ada yang pernah
siap untuk ditinggalkan orang terkasih, apakah pasangan hidup, orang tua, anak,
dsb., tetap saja semua datang tiba-tiba, mengejutkan dan meluluh lantakkan
hati. Sejujurnya aku turut menangis membayangkan sedihnya temanku yang
kehilangan suaminya, merasa malu karena tak bisa membantu, menghibur, entahlah
apa kata-kata bisa membantu. Aku sendiri tak sanggup membayangkan jika itu
terjadi padaku. Hanya doa-doa yang mampu aku panjatkan kelangitNya.
Kehilangan Ibu sembilan
bulan lalu, merupakan kesedihan terdalam dalam hidupku. Pernah aku kehilangan 2
nenek, (2 kakek sudah tiada, gak pernah jumpa), dan saudara-saudara lain, tapi
waktu itu aku masih kecil, tak begitu dalam memaknai kematian. Deraan kedua
yang pedih adalah waktu tsunami, ketika menyaksikan ‘kiamat’ kecil yang tak
sanggup digambarkan kata-kata...
Kematian begitu menyentak
kesadaran yang membuatku banyak
berfikir, berfikir, berfikir...tafakur, tadabur, dan mengevaluasi segala hal yang
sudah berlalu dalam hidupku. Hal utama yang aku rasakan betapa waktu berlalu tak terasa. Aku masih punya
rencana-rencana buat beliau, sebagiannya sudah kuutarakan, mengajak beliau
tinggal bersamaku, tapi kehendak Allah berlaku. Bukankah Dia yang Haq? Kita
hanya bisa punya rencana, belum sempat rasanya membahagiakan beliau, Allah
sudah memanggilnya.
Kematian begitu
menyentak akan kesadaran betapa singkatnya waktu kita singgah di dunia, sungguh
hanya persinggahan sementara. Persinggahan yang melenakan, sampai lupa tujuan
hidup sebenarnya. Begitu banyak yang ingin diperbaiki dari diri, dan kita
tak pernah tahu berapa waktu tersisa. Juga memperbaiki cara mengelola
rumah tangga, mendidik anak-anak, dsb., mau
jadi apa mereka, sudah benarkah cara dan jalan yang ku (kami) tempuh selama
ini? Mampukah kuraih jalan cinta, yang kan berakhir indah?
Dan waktu jualah yang
bisa mengobati luka hati karena kehilangan orang yang kita cintai. Apapun saran
bisa kita terima, tapi luka tetap membutuhkan waktu untuk sembuh. Sabar, ikhlas,
memang kuncinya, namun tak semudah mengucapkannya. Awal-awal kematian begitu menyentak diri,
selain tafakur dan tadabur, aku banyak baca buku-buku, search di google tentang alam barzakh, kemana, dimana jasad manusia
berada menurut Islam, dsb. Ada yang kuingat ketika seorang temanku, datang melayat,
dia begitu siap akan masa depan. Aku terkaget, plus kagum waktu dia bercerita dia
bahkan sudah siapkan kafan dan kain panjang di rumahnya, sudah berpesan-pesan
pada anak-anaknya. Betapa sebenarnya itu tindakan paling logis yang seharusnya
kita lakukan? Sejak kecil kita mungkin sudah tahu dari guru agama bahwa yang paling dekat dengan
kita adalah kematian. Lalu mengapa takut membicarakannya dan mempersiapkannya? Aku
sendiri merasa lalai dan abai...
Kemudian yang juga sangat
kuingat adalah saat Amai dan Mamakku berkata, “Anggaplah Ibu masih hidup
bersama kita, seperti yang kami lakukan untuk Andi.” Andi adalah anak Mamakku
(Oom) yang sudah wafat di usia muda.
Membaca banyak referensi,
akupun akhirnya sampai pada pemahaman, bahwa beliau, Ibu yang aku cintai masih
hidup di sana, di suatu tempat indah disisiNya, di Barzakh, dan tentunya di
hati orang-orang yang mencintainya. Ini bisa mengurangi kesedihan, sekarang
lebih kepada keikhlasan dan mengirim doa-doa untuk beliau. Semoga Allah
memudahkan aku juga bisa mengirim kebaikan. Semoga engkau perkenankan segala
doa-doa untuk beliau Ya Rabb... Maha Cinta.
PondokCinta Darussalam,
26 November 2015
No comments:
Post a Comment