Kejujuran menulis, menuliskan kejujuran
RE-POST TULISAN LAMA
Pikiran ini hadir ketika bertualang di
dunia cyber, dan
ngobrol dengan sahabatku mengenai banyaknya orang yang tak peduli dengan etika
mengambil tulisan orang lain di internet. Aku menemukan banyak hal yang
membuatku kadang tersenyum-senyum sendiri. Berbagai ekspresi, informasi dan
berita apapun ada di dunia maya ini, tinggal kita mau memilih dan memilah yang
mana mau dilihat, dipakai atau dipercaya.
Ada yang menimbulkan tanda tanya di
benakku tentang kejujuran dalam menulis. Benarkah paranetter, blogger,
facebookers,’buku-ers’ apapun sebutannya, telah menulis dengan jujur
apa-apa yang diceritakannya tersebut? Jawabnya pastilah relatif ya, tergantung
orangnya dan kejujurannya. Aku menemukan puisi temanku di copy paste utuh,
(sudah lama), dan tak ada penyebutan nama sumber. Waktu kutanya pada temanku,
katanya, “biar sajalah, aku bukan siapa-siapa, berarti ada yang suka tulisanku
senang saja.” Itu bagi orang yang memang tidak mempermasalahkannya, tapi
bagaimana kalau yang bersangkutan tidak suka dan merasa dirugikan karena hak
ciptanya di langgar (walau tak terdaftar)?
Ada juga yang dengan bangga mengutip lirik
lagu dan memasukkannya di sela-sela tulisannya tanpa menyebut sumber, atau
mengutip baris-baris kata di buku, tanpa malu-malu. Dan turut bangga ketika
pembacanya berkomentar dan memuji dia sebagai penulis hebat misalnya; “Waahh
kamu emang piawai ya menulis, waah kau benar-benar pujangga!” Tak ada
penjelasan dari yang dipuji, larut dalam kebanggan palsu. Itu berlaku juga
terhadap hasil cipta yang lain, misalnya foto dan musik (lagu).
Ada penulis yang memanfaatkan orang lain
dengan memakai hasil survei, riset atau wawancara yang dilakukan orang lain
untuknya. Ini kudapatkan dari berbincang dengan seorang teman Dosen. Sayangnya
tak banyak yang mau mengakui bantuan orang lain tersebut dengan menulis sesuai
etika kutipan, apalagi kalau yang karyanya dimanfaatkan hanyalah orang-orang
tak berdaya misalnya ’penulis bukan siapa-siapa’, ataupun mahasiswa binaan.
Memang sih sekarang ada UU ITE yang masih
kontroversial itu, yang bisa saja digunakan sesuai kepentingan masing-masing
orang. Begitulah yang kulihat fenomena penegakan hukum di negeri ini. Namun
menciplak, mencuri utuh ataupun sebagian tulisan seseorang (plagiat) bukankah
hal memalukan?
“Jadi kalau seseorang menulis fiksi nggak
jujur begitu?” tanya seorang temanku.
Jujur yang kumaksudkan adalah asli karya
kita sendiri, kalaupun ada kutipan yang perlu dari suatu sumber, tentulah
dengan menyebutkan sumbernya.
“Fiksi itu adalah jenis tulisan teman, ”
kataku. Fiksi bukan berarti bohong, fiksi adalah kelebihan manusia dengan daya
imajinasinya yang tidak dimiliki makhluk lain, justru media berekspresi yang
membebaskan manusia bisa menjadi apa saja yang diinginkannya. Walau fiksi jenis
apapun pasti dilatarbelakangi oleh keberadaan si penulis sendiri yakni,
pengetahuannya, pandangan hidup, pengalaman, daya khayal, impian, dsb. Namun
aku setuju kebebasan manusia adalah kebebasan terbatas yang tidak boleh
melanggar hak makhluk lain.”
“Maksud kamu?”
“Ada orang yang berteriak-teriak tentang
kebebasan menulis, tapi dia lupa tulisannya melanggar hak-hak orang lain.
Seberapa jauh pelanggarannya tentunya hukum yang menentukan, namun selain hukum
formal ada etika, ada rasa, ada nurani,” kataku sok filosofi.
“Manusia itu,” lanjutku, “mesti dibatasi
aturan, itulah hukum Sang Pencipta, sebab DIA yang tahu bagaimana
kondisi-situasi makhluk ciptaanNya. Dengan kemampuan kemanusiaan yang terbatas,
manusia bablas kalau tak dibatasi. Lha ada dinding saja kita
sudah nggak bisa melihat apa-apa, bagaimana bisa memiliki kebebasan
mutlak?”
Ada yang mengidentikkan menuliskan
kejujuran adalah menulis tanpa batasan. Aku tak setuju. Jujur taklah sama
dengan terbuka, bagiku di dunia ini ada hal-hal yang tidak boleh dituliskan,
yakni aurat diri, rumah tangga, orang lain apalagi aib. Justru itulah sekarang
yang banyak dituliskan dan dijual orang dengan bangga. Bagiku, sebagai muslim
upaya untuk hati-hati ’melepas’ setiap kata saat ini begitu terasa. Entahlah
mungkin karena aku semakin tua, sebab kupercaya kata adalah doa, kata menyerap
ke ruh, tubuh, pikiran, mengirimkan efek energi ke semesta, ke udara yang kita
hirup, air yang kita minum, bumi yang kita pijak, ke energi yang menyelimuti
komputer yang kita pakai misalnya...kemudian akan mencapai kehendak-kehendak
dalam diri, yang pastinya seizin Sang Pemilik Kehendak.
”Itu mirip-mirip yang ditulis buku The
Secret ya?” tanyanya lagi..
”Sebagiannya disitu sobat, sebagian besar
ada di Al-Quran, buku-buku pencerahan, terakhir yang aku baca buku-bukunya
Ustadz Yusuf Mansyur, lalu juga penelitian-penelitian ilmiah misalnya ”The True
Power of Water”-nya Masaru Emoto, kisah-kisah Sufi, dsb. Dari kisah-kisah Nabi
dulu, diajarkan bahwa semesta bertasbih kepada yang Kuasa. Sebab itu, jangan
sembarangan melepas, menulis kata-kata makian atau kutukan...Akan beredar
energi negatif yang banyak disekitar kita. Kalaupun ada yang ingin disampaikan
sebagai kritik, lakukan dengan santun dan tertutup. Mungkin itu lebih baik.
Bisa saja Indonesia jadi begini karena begitu banyak hujatan terlontar ke
semesta, pastinya di negeri tercinta ini oleh rakyatnya sendiri.”
Pikiran-pikiran spiritual serupa di atas
begitu banyak mempengaruhi diri seiring berkurangnya jatah hidup (bilang aja
tua gitu hehe!), aku jadi terlalu banyak berpikir bahkan sekedar meng-uploadtulisanku
di blog—atau mengisi status di facebook—jadi jarang. Padahal aku banyak sekali
menulis. Selalu menulis, seminimalnya mencurahkan keresahan jiwa, menuju lega.
Sebab aku tak mau melepas tulisan yang hanya akan jadi tulisan sampah saja
(setidaknya menurutku sendiri). Apalagi tulisan yang akan membawa dosa bagi
diri, apalagi bagi orang lain (emangnya selama hidup belum cukup banyak dosa?).
Sebenarnya lebih sebuah kritik diri, selama ini aku masih suka jutek dan
bisa berkata-kata tajam bak rencong, justru beraninya ke orang-orang
terdekatku, atau pada kondisi toleransi diri sudah habis jika diperlakukan
tidak adil. Inipun perlu kupertimbangkan lagi.
Sampai dimanapun kemampuan kita, menulis
dengan jujur sangat penting menurutku, sebagai upaya memperbaiki diri. Akhirnya
memang semua dikembalikan ke nurani kita masing-masing, sebab jujur itu tak
pernah ketinggalan zaman, selalu bersih dan disukai.
RumahCinta, Ayahanda Medan, 23 Januari
2010
No comments:
Post a Comment