Tuesday, November 24, 2015

Kejujuran menulis, menuliskan kejujuran

Kejujuran menulis, menuliskan kejujuran

RE-POST TULISAN LAMA

Pikiran ini hadir ketika bertualang di dunia cyber, dan ngobrol dengan sahabatku mengenai banyaknya orang yang tak peduli dengan etika mengambil tulisan orang lain di internet. Aku menemukan banyak hal yang membuatku kadang tersenyum-senyum sendiri. Berbagai ekspresi, informasi dan berita apapun ada di dunia maya ini, tinggal kita mau memilih dan memilah yang mana mau dilihat, dipakai atau dipercaya. 

Ada yang menimbulkan tanda tanya di benakku tentang kejujuran dalam menulis. Benarkah paranetter, blogger, facebookers,’buku-ers’ apapun sebutannya, telah menulis dengan jujur apa-apa yang diceritakannya tersebut? Jawabnya pastilah relatif ya, tergantung orangnya dan kejujurannya. Aku menemukan puisi temanku di copy paste utuh, (sudah lama), dan tak ada penyebutan nama sumber. Waktu kutanya pada temanku, katanya, “biar sajalah, aku bukan siapa-siapa, berarti ada yang suka tulisanku senang saja.” Itu bagi orang yang memang tidak mempermasalahkannya, tapi bagaimana kalau yang bersangkutan tidak suka dan merasa dirugikan karena hak ciptanya di langgar (walau tak terdaftar)? 

Ada juga yang dengan bangga mengutip lirik lagu dan memasukkannya di sela-sela tulisannya tanpa menyebut sumber, atau mengutip baris-baris kata di buku, tanpa malu-malu. Dan turut bangga ketika pembacanya berkomentar dan memuji dia sebagai penulis hebat misalnya; “Waahh kamu emang piawai ya menulis, waah kau benar-benar pujangga!” Tak ada penjelasan dari yang dipuji, larut dalam kebanggan palsu. Itu berlaku juga terhadap hasil cipta yang lain, misalnya foto dan musik (lagu).

Ada penulis yang memanfaatkan orang lain dengan memakai hasil survei, riset atau wawancara yang dilakukan orang lain untuknya. Ini kudapatkan dari berbincang dengan seorang teman Dosen. Sayangnya tak banyak yang mau mengakui bantuan orang lain tersebut dengan menulis sesuai etika kutipan, apalagi kalau yang karyanya dimanfaatkan hanyalah orang-orang tak berdaya misalnya ’penulis bukan siapa-siapa’, ataupun mahasiswa binaan.

Memang sih sekarang ada UU ITE yang masih kontroversial itu, yang bisa saja digunakan sesuai kepentingan masing-masing orang. Begitulah yang kulihat fenomena penegakan hukum di negeri ini. Namun menciplak, mencuri utuh ataupun sebagian tulisan seseorang (plagiat) bukankah hal memalukan? 

“Jadi kalau seseorang menulis fiksi nggak jujur begitu?” tanya seorang temanku.

Jujur yang kumaksudkan adalah asli karya kita sendiri, kalaupun ada kutipan yang perlu dari suatu sumber, tentulah dengan menyebutkan sumbernya.

“Fiksi itu adalah jenis tulisan teman, ” kataku. Fiksi bukan berarti bohong, fiksi adalah kelebihan manusia dengan daya imajinasinya yang tidak dimiliki makhluk lain, justru media berekspresi yang membebaskan manusia bisa menjadi apa saja yang diinginkannya. Walau fiksi jenis apapun pasti dilatarbelakangi oleh keberadaan si penulis sendiri yakni, pengetahuannya, pandangan hidup, pengalaman, daya khayal, impian, dsb. Namun aku setuju kebebasan manusia adalah kebebasan terbatas yang tidak boleh melanggar hak makhluk lain.”

“Maksud kamu?” 

“Ada orang yang berteriak-teriak tentang kebebasan menulis, tapi dia lupa tulisannya melanggar hak-hak orang lain. Seberapa jauh pelanggarannya tentunya hukum yang menentukan, namun selain hukum formal ada etika, ada rasa, ada nurani,” kataku sok filosofi. 

“Manusia itu,” lanjutku, “mesti dibatasi aturan, itulah hukum Sang Pencipta, sebab DIA yang tahu bagaimana kondisi-situasi makhluk ciptaanNya. Dengan kemampuan kemanusiaan yang terbatas, manusia bablas kalau tak dibatasi. Lha ada dinding saja kita sudah nggak bisa melihat apa-apa, bagaimana bisa memiliki kebebasan mutlak?” 

Ada yang mengidentikkan menuliskan kejujuran adalah menulis tanpa batasan. Aku tak setuju. Jujur taklah sama dengan terbuka, bagiku di dunia ini ada hal-hal yang tidak boleh dituliskan, yakni aurat diri, rumah tangga, orang lain apalagi aib. Justru itulah sekarang yang banyak dituliskan dan dijual orang dengan bangga. Bagiku, sebagai muslim upaya untuk hati-hati ’melepas’ setiap kata saat ini begitu terasa. Entahlah mungkin karena aku semakin tua, sebab kupercaya kata adalah doa, kata menyerap ke ruh, tubuh, pikiran, mengirimkan efek energi ke semesta, ke udara yang kita hirup, air yang kita minum, bumi yang kita pijak, ke energi yang menyelimuti komputer yang kita pakai misalnya...kemudian akan mencapai kehendak-kehendak dalam diri, yang pastinya seizin Sang Pemilik Kehendak.

”Itu mirip-mirip yang ditulis buku The Secret ya?” tanyanya lagi..

”Sebagiannya disitu sobat, sebagian besar ada di Al-Quran, buku-buku pencerahan, terakhir yang aku baca buku-bukunya Ustadz Yusuf Mansyur, lalu juga penelitian-penelitian ilmiah misalnya ”The True Power of Water”-nya Masaru Emoto, kisah-kisah Sufi, dsb. Dari kisah-kisah Nabi dulu, diajarkan bahwa semesta bertasbih kepada yang Kuasa. Sebab itu, jangan sembarangan melepas, menulis kata-kata makian atau kutukan...Akan beredar energi negatif yang banyak disekitar kita. Kalaupun ada yang ingin disampaikan sebagai kritik, lakukan dengan santun dan tertutup. Mungkin itu lebih baik. Bisa saja Indonesia jadi begini karena begitu banyak hujatan terlontar ke semesta, pastinya di negeri tercinta ini oleh rakyatnya sendiri.”


Pikiran-pikiran spiritual serupa di atas begitu banyak mempengaruhi diri seiring berkurangnya jatah hidup (bilang aja tua gitu hehe!), aku jadi terlalu banyak berpikir bahkan sekedar meng-uploadtulisanku di blog—atau mengisi status di facebook—jadi jarang. Padahal aku banyak sekali menulis. Selalu menulis, seminimalnya mencurahkan keresahan jiwa, menuju lega. Sebab aku tak mau melepas tulisan yang hanya akan jadi tulisan sampah saja (setidaknya menurutku sendiri). Apalagi tulisan yang akan membawa dosa bagi diri, apalagi bagi orang lain (emangnya selama hidup belum cukup banyak dosa?). Sebenarnya lebih sebuah kritik diri, selama ini aku masih suka jutek dan bisa berkata-kata tajam bak rencong, justru beraninya ke orang-orang terdekatku, atau pada kondisi toleransi diri sudah habis jika diperlakukan tidak adil. Inipun perlu kupertimbangkan lagi. 

Sampai dimanapun kemampuan kita, menulis dengan jujur sangat penting menurutku, sebagai upaya memperbaiki diri. Akhirnya memang semua dikembalikan ke nurani kita masing-masing, sebab jujur itu tak pernah ketinggalan zaman, selalu bersih dan disukai.



RumahCinta, Ayahanda Medan, 23 Januari 2010

No comments:

About Me

My photo
Welcome to my Blog.... Mom, kids lover, nature lover, Islam and peace lover, like to read, write, travel. Darussalam, Banda Aceh. Indonesia.