Saturday, November 7, 2015

Mencari orang baik

Mencari orang baik

Sempat ngedumel sama mahasiswi yang berkendara sepeda motor melawan arah hampir menabrakku pagi ini, dia cuek aja. Hal-hal yang sangat-sangat biasa dalam keseharian orang Indonesia ini mungkin. Dianggap kecil. Benarkah kecil? Padahal bisa menghilangkan nyawa orang lo! Banyak berita tentang betapa kacaunya lalu lintas kita, pemakai jalan yang tidak disiplin, kurang toleransi, tiada simpati apalagi empati.

Dulu, kalau boncengan sepeda motor atau abang (suamiku) nyetir, dan ada orang-orang yang sembarangan nyalib dsb, pasti aku teriakin hehe...Kalau si abang memang orangnya cool dan sabar, jadi jarang marahin orang. Beberapa tahun belakangan, aku udah nggak teriakin mereka lagi, percuma, sekalian belajar sabar.

Mengamati para pengendara sepanjang hidupku, memang kondisi jalanan yang semrawut bisa menaikan temperatur kepala kali ya...Baik itu teman, kenalan, saudara, rata-rata pada ngedumel kalau nyetir. Aku sih biasanya jadi penumpang saja dan sok-sok jadi pengamat. Kadang ada yang ngomelnya parah banget sampai memaki-maki, astagfirullah...Bahkan sahabatku yang terkenal pendiampun, kalau nyetir jadi bisa ngomel. Dari pengalamanku yang paling cool itu nyetirnya adalah sahabatku sang musisi ini, yang baik hati antar jemput aku waktu pulang kampung kemarin. Nggak pernah ngedumel dan tenang banget.

Kalau ke Medan dan pergi dengan adikku yang nyetir, juga sering kita mendiskusikan betapa kacaunya kondisi lalu lintas di sana. Sulit sekali mencari orang yang baik di jalanan, yang mau bertoleransi dan bersikap disiplin di jalan raya. Sebagian besar mengedepankan ego. Sepertinya sama saja dengan di Banda Aceh sini, di Padang, di Jakarta, dan tempat-tempat lain di negeri ini (dari yang aku alami dan info media). Sedihnya lagi kata adikku, kalau ada kecelakaan orang-orang malah tega berselfie-selfie ria di dekat lokasi, tanpa sedikitpun empati terhadap korban. Dia melihat sendiri. Begitu juga kalau ada musibah lainnya seperti kebakaran, yang mereka lakukan selfie! Jadi ingat waktu tsunami, ketika berhasil nyebrang dari Sabang hari keempat pasca tsunami, aku mendapati “kiamat” mulai dari pelabuhan Malahayati sampai Darussalam, kehancuran luar biasa, mayat-mayat. Terlintas ingin memotret, tapi hatiku dan mataku tak sanggup melakukannya, hanya diam, nangis di dalam. Memang nggak berbakat jadi jurnalis kali ya...

Begitu juga kalau kita berada di tempat-tempat umum, yang sangat menjadi concern-ku adalah sampah. Bahkan di halaman Mesjid Rayapun banyak yang seenaknya buang sampah. Kalau olah raga pagi/sore sekeliling kampus Universitas Syiah Kuala-Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, sampahlah yang sangat mengganggu. Mahasiswa/i yang duduk-duduk nyantai di pinggir lapangan seenaknya buang sampah sembarangan. Pernah aku tegur baik-baik, mukanya masam. Sama saja dengan yang merokok di tempat-tempat/kendaraan umum, kalau diingatkan malah balik memelototi kita.

Belum lagi toleransi ‘kecil’ seperti ngantri dengan teratur, menolong orangtua, Ibu hamil, anak-anak dsb., yang kesulitan di jalanan, jarang banget.

Lalu, betulkah nggak ada lagi orang baik di negeri ini? Masih, memang masih ada orang-orang yang peduli, tapi itu keajaiban, dan jumlahnya sedikit? Pertanyaan itu yang muncul di benakku setiap kali kesal dengan orang-orang tak peduli di sekitar kita.

Namun didalam kalbu aku yakin, masih banyak orang-orang yang baik kok, apalagi kalo dipikir saat hati tenang, selama ini, ketika ada musibah atau kesulitan masih banyak yang menolong. Rata-rata sih yang memang kita kenal dekat. Sulit mencari orang yang mau menolong tulus, orang yang tidak dikenalnya.

Lalu? Sebuah jawaban telak mestinya menghujam diri kita sendiri. Sudahkah kita (diri sendiri) baik? Peduli, simpati, empati? Jangan-jangan kita (aku) juga tidak baik.

Catatan Pagi, PondokCinta Darussalam, 5 November 2015.

No comments:

About Me

My photo
Welcome to my Blog.... Mom, kids lover, nature lover, Islam and peace lover, like to read, write, travel. Darussalam, Banda Aceh. Indonesia.