Terdera As-Syu’ara'
Pernah beberapa tahun aku tidak
menulis, kalaupun ada, sangat sedikit sekali dan tidak aku upload di blog maupun di Note Facebook. Ada teman-teman bertanya
kenapa nggak menulis lagi. Jawabku ya karena sibuk dengan parasaian iduik (suka duka kehidupan)--gak tau sinonim dalam bahasa
Indonesia apa ya? Kadang jadi malas keterusan, karena fokusku berpindah.
Padahal dulu, saat sangat sibuk baik di kantor maupun di rumah, aku malah
banyak menulis, memanfaatkan sela-sela waktu luang yang sempit. Semakin sibuk,
semakin banyak pikiran di kepala,
semakin banyak yang ingin aku tumpahkan di tulisan. Ya itu seperti yang sering
aku tulis, bagiku nulis utamanya detoksifikasi. Mudah-mudahan juga bisa bermanfat untuk orang lain.
Tapi ada alasan yang tidak
kukatakan pada teman, yaitu perasaan bahwa tulisan-tulisan itu useless semua. Begitulah, aku
terperangah ketika suatu hari membaca entah dimana (maaf lupa penulisnya),
bahwa apapun pekerjaan/karya kita termasuk tulisan tentu akan
kita pertanggungjawabkan nanti kepada Allah, apalagi itu kalau membuat
dosa. Royalti kita akan dibayar nanti di neraka, mau?
Aku benar-benar tersentak, dulu
aku sempat kagum kepada beberapa penulis perempuan yang punya gaya bahasa yang
sangat-sangat gaya, sangat nyastra,
berani, menggugah gairah, kadang-kadang malah kebablasan dan kasar. Aku setuju-setuju saja kepada pujian
yang ditujukan kepada mereka oleh beberapa ulasan di media bahwa itulah gaya
yang paling top untuk penulis, yakni bebas tak berbatas. Bahkan mereka ada yang
dapat penghargaan sastra. Oh aku benar-benar pemuja sastra itu! Eh dulu.
Maaf untuk penulisnya—tentu nggak
etis kalau ditulis namanya--kalau kukatakan kemudian aku menganggap
tulisan-tulisan itu sampah, lebih sebagai racun tak berguna yang tak bisa didaur ulang, walau dimana-mana orang memuja-muja tulisan mereka. Sebagai
pencinta lingkungan, aku tidak membenci sampah kalau masih bisa didaur ulang,
begitu juga dengan ‘sampah kepala’ yang bisa buat pelajaran hidup.
Aku berhenti membaca bacaan-bacaan semacam dan menggantinya dengan
bacaan-bacaan yang insya Allah bisa menuntun kita menjadi lebih baik. Amin. Hanya upayaku, bukan sok alim. Apalagi kemudian ketika
tafakur dan tadabur ditampar kesadaran
pada syurat As-Syu’ara' 224-227’:
*Ayat 225, maksudnya mengembara di lembah-lembah ialah bahwa sebagian penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan dan pendirian tertentu yang baik.
Sebelumnya aku nggak begitu berani mengutip-ngutip ayat, tapi demi belajar, aku copas suratnya di sini, semoga dijauhkan dari sok tahu dan ria.
Belum lagi kalau dipikir-pikir,
kadang dalam tulisan ada kebanggaan-kebanggaan tersembunyi yang ingin kita
pamerkan, bagaimana kalau ternyata itu hanya wujud kesombongan semata? Begitu
juga dengan meng-upload foto-foto di
media sosial, aku selalu dihantui pertanyaan; apakah itu suatu pamer-pamer yang
berujung ujub ya Rabb? Menulis tanpa
sombong, aku banyak belajar dari tulisan sohibku di Rumah Kayu, Dee dan Fary, yang menurutku, kalau mereka mau, banyak
yang bisa dibanggakan dari kehidupan mereka, tapi mereka tak melakukannya.
Demikian juga dengan hobiku
mendengar musik, aku mulai memilah-milah yang mana sebaiknya di dengar agar tak
jatuh ke dalam mendengar yang haram, ada perbedaan pendapat ulama mengenai
halal haramnya musik, bagi aku memilih yang tidak bertentangan dengan
hukum-hukumNya. Siapa bilang musik yang menyebabkan orang jadi berjoged-joged
mesum itu musik yang baik? Atau teler kaya I-Doser ini? Al-Imam Gazali salah
seorang Imam yang membolehkan mendengar musik-musik yang baik (Ringkasan Ihya’
Ulumuddin hal. 194-199).
Dengan menuliskan ini hanya untuk
mengingatkan diriku, bukan untuk menghujat-hujat orang lain. Agar on
the right track always. Selalu
berada di Jalan cintaNya yang kadang berliku, terjal dan tajam, namun untuk
keindahan akhir tiada tara...
PondokCinta Darussalam, 5 November
2015
No comments:
Post a Comment