Saturday, November 7, 2015

Terdera As-Syu’ara'


Terdera As-Syu’ara'

Pernah beberapa tahun aku tidak menulis, kalaupun ada, sangat sedikit sekali dan tidak aku upload di blog maupun di Note Facebook. Ada teman-teman bertanya kenapa nggak menulis lagi. Jawabku ya karena sibuk dengan parasaian iduik (suka duka kehidupan)--gak tau sinonim dalam bahasa Indonesia apa ya? Kadang jadi malas keterusan, karena fokusku berpindah. Padahal dulu, saat sangat sibuk baik di kantor maupun di rumah, aku malah banyak menulis, memanfaatkan sela-sela waktu luang yang sempit. Semakin sibuk, semakin banyak pikiran di kepala, semakin banyak yang ingin aku tumpahkan di tulisan. Ya itu seperti yang sering aku tulis, bagiku nulis utamanya detoksifikasi. Mudah-mudahan juga bisa bermanfat untuk orang lain.

Tapi ada alasan yang tidak kukatakan pada teman, yaitu perasaan bahwa tulisan-tulisan itu useless semua. Begitulah, aku terperangah ketika suatu hari membaca entah dimana (maaf lupa penulisnya), bahwa apapun pekerjaan/karya kita termasuk tulisan  tentu akan  kita pertanggungjawabkan nanti kepada Allah, apalagi itu kalau membuat dosa. Royalti kita akan dibayar nanti di neraka, mau?

Aku benar-benar tersentak, dulu aku sempat kagum kepada beberapa penulis perempuan yang punya gaya bahasa yang sangat-sangat gaya, sangat nyastra, berani, menggugah gairah, kadang-kadang malah kebablasan dan  kasar. Aku setuju-setuju saja kepada pujian yang ditujukan kepada mereka oleh beberapa ulasan di media bahwa itulah gaya yang paling top untuk penulis, yakni bebas tak berbatas. Bahkan mereka ada yang dapat penghargaan sastra. Oh aku benar-benar pemuja sastra itu! Eh dulu.

Maaf untuk penulisnya—tentu nggak etis kalau ditulis namanya--kalau kukatakan kemudian aku menganggap tulisan-tulisan itu sampah, lebih sebagai racun tak berguna yang tak bisa didaur ulang, walau dimana-mana orang memuja-muja tulisan mereka. Sebagai pencinta lingkungan, aku tidak membenci sampah kalau masih bisa didaur ulang, begitu juga dengan ‘sampah kepala’ yang bisa buat pelajaran hidup.

Aku berhenti membaca  bacaan-bacaan semacam dan menggantinya dengan bacaan-bacaan yang insya Allah bisa menuntun kita menjadi lebih baik. Amin. Hanya  upayaku, bukan sok alim. Apalagi kemudian ketika tafakur dan tadabur ditampar kesadaran pada syurat As-Syu’ara' 224-227’:

224
وَالشُّعَرَاء يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat.

225
أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ
Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah,

226
وَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ
dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)?

227
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيراً وَانتَصَرُوا مِن بَعْدِ مَا ظُلِمُوا وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنقَلَبٍ يَنقَلِبُونَ
kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.

*Ayat 225, maksudnya mengembara di lembah-lembah ialah bahwa sebagian penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan dan pendirian tertentu yang baik.

Sebelumnya aku nggak begitu berani mengutip-ngutip ayat, tapi demi  belajar, aku copas suratnya di sini, semoga dijauhkan dari sok tahu dan ria.

Belum lagi kalau dipikir-pikir, kadang dalam tulisan ada kebanggaan-kebanggaan tersembunyi yang ingin kita pamerkan, bagaimana kalau ternyata itu hanya wujud kesombongan semata? Begitu juga dengan meng-upload foto-foto di media sosial, aku selalu dihantui pertanyaan; apakah itu suatu pamer-pamer yang berujung ujub ya Rabb? Menulis tanpa sombong, aku banyak belajar dari tulisan sohibku di Rumah Kayu, Dee dan Fary, yang menurutku, kalau mereka mau, banyak yang bisa dibanggakan dari kehidupan mereka, tapi mereka tak melakukannya.

Demikian juga dengan hobiku mendengar musik, aku mulai memilah-milah yang mana sebaiknya di dengar agar tak jatuh ke dalam mendengar yang haram, ada perbedaan pendapat ulama mengenai halal haramnya musik, bagi aku memilih yang tidak bertentangan dengan hukum-hukumNya. Siapa bilang musik yang menyebabkan orang jadi berjoged-joged mesum itu musik yang baik? Atau teler kaya I-Doser ini? Al-Imam Gazali salah seorang Imam yang membolehkan mendengar musik-musik yang baik (Ringkasan Ihya’ Ulumuddin hal. 194-199).

Dengan menuliskan ini hanya untuk mengingatkan diriku, bukan untuk menghujat-hujat orang lain.  Agar on the right track  always. Selalu berada di Jalan cintaNya yang kadang berliku, terjal dan tajam, namun untuk keindahan akhir tiada tara...

PondokCinta Darussalam, 5 November 2015




No comments:

About Me

My photo
Welcome to my Blog.... Mom, kids lover, nature lover, Islam and peace lover, like to read, write, travel. Darussalam, Banda Aceh. Indonesia.